Berjarak tidak lebih dari sebulan aku menuliskan tentang perpisahan kita di kompos cerita ini
Ketika aku mulai terbangun dan tertidur oleh kenangan yang dulu kita buat.
1 tahun 28 hari, hanya selama itu kita mampu bersama-sama,kita bermimpi mendirikan tembok setinggi langit, kita mengisi hari-hari
satu sama lain, ada yang terbatasi dan ada yang terbebaskan.
Mungkin kita terlalu berpikir panjang, berharap terlalu besar,
dan kita takabur karena terlalu yakin
setiap manusia sulit memisahkan kita.
Mungkin Tuhan marah, atau memang jalan-Nya..
24 September 2010, kumulai rangkai buku dengan
kertas-kertas yang masih putih bersih.
Buku itu terpikirkan oleh aku, untukmu.
Kita berdua tulis isi cerita buku itu,
dari sakitnya dibohongi, sakitnya dikhianati,
dari senangnya kebersamaan, senangnya kejutan.
Kamu dengan segala hal yang telak aku simpan dalam kamarku dan pelajaran.
Aku dengan segala hal yang tak pernah kuberikan pada siapapun
dan kenangan.
Lalu semakin banyak tulisan tentang tawa dan canda kita.
Kamu dan aku yang setiap Jum'at malam menyusun rencana
agar akhir minggu kita bisa ikuti arah angin,
dan tiket-tiket si gedung yang memutarkan kaset film.
Satu persatu tempat mengenyangkan perut kita kunjungi,
dan pakaian yang kita kenakan, sering kali berwarna sama.
Tanpa disengaja.
Memang, sempat satu kali terlintas di otakku,
bahwa suatu hari ini akan berakhir.
Tapi, entah mengapa aku tak pernah mau berdoa itu akan terjadi.
Menyedihkan, mengingat hari terakhir kita menghabiskan waktu bersama.
Aku hanya tidak terpikirkan disitu aku bersamamu terakhir kali..
Terlintaskah di otakmu?
Kenyataannya, kebahagiaan benar-benar tidak menjamin kita
untuk setia pada kejujuran, pengorbanan juga ternyata
tidak menjamin dapat merubah siapapun.
Mungkin sia-sia semua yang kita lewati. Ah, tapi tidak juga..
Buktinya, aku masih sering tertawa geli dan meneteskan air mata mengingatnya.
Mungkin benar penyataanku, bahwa
kamu dan aku takabur akan selamanya, kamu dan akulah
yang salah karena terlalu menikmati anugerah Tuhan.
Dia pisahkan kamu dengan aku, demikian karena memang
tidak ada yang berjalan selamanya.
Mungkin, ini juga termasuk anugerah-Nya ketika mata dan hati mulai terbuka.
Kita akhirnya sadar, bukan?
Ia catatkan, "
ini harus berakhir.."
Dia berikan masalah, Dia tunjukkan kesalahan
Kita bersatu dulu, untuk belajar dan mengerti bukan mengejar dan bermimpi,
untuk lebih baik dan bahagia bukan terbaik dan lupa diri.
Itu anugerah yang menyakitkan, dan itu pengkhianatan yang menyenangkan.
Buku besar berwarna hitam yang kini di tanganmu itu,
adalah pembukaan dengan "
Pada suatu waktu.."
dan kuakhiri dengan
"
Selesai.. Terima kasih untuk petualangan kita."