Rabu, 28 Maret 2012

Coba lihat pemandangan langit sesudah senja, bintang kini kian hadir bersama kawan-kawannya. Aku sering kali buka pintu belakang, menghadap langit, dan kemudian tersenyum memandangnya. Ih, ada bintang yang tak terhingga. Ada pula bulan sabit. Bayangkan saja sendiri, tersandar di tubuhnya. Sinarnya terang, tak ingin kehilangan sekedip mata pun. Yasudah, aku terpaku saja menangis melihatnya. Terharu, sih. Gimana ya? Pemandangan yang Tuhan berikan tak mungkin aku lewatkan, begitu berharga buatku. Iyalah, bintang, dan bulan. Mau kalian terlewatkan?
Coba kalian paparkan diri kalian menjadi pemandangan itu. Maukah kalian pergi begitu saja tinggalkan tatapan penonton yang terhibur akan kalian? Aku sih memilih menetap. Sampai mereka terlelap dalam mimpi.
Sabit turun, menghilang, dan lenyap. Gusar aku mencarinya. Sedih, siapa sih yang tidak merasakan hal yang sama? Kalau saja itu terakhir kali aku melihatnya? Ah, aku tidak mau. Bintang adalah sinar yang isinya harapanku. Semua bintang milikku, haha. Egois ya? Aku terlalu menikmati memang. Tapi sesungguhnya, memang begitu. Kian aku melihat bintang, kian aku ucapkan harapan. Manusia macam aku ini masih gusar mencari tujuan akhirnya. Bintang lah yang menjadi sasaran tepat untukku pancarkan mimpiku. Sabit, andaikan engkau tempat aku terlelap dalam mimpi. Aku rela tinggalkan empuknya bulu angsa buatan manusia ini, demi kerasnya senderanmu. Sabit, kemari padaku. Biarkan aku tinggal bersamamu, bersama bintang, dan kawan-kawannya. Aku ingin bersinar, dan indah seperti kalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar